Ayo nglestarekno Budoyo Jowo ben ora ilang Soko Bumi Nusantoro

Kisah Miris Anak Menggugat Ibu Kandung di Tangerang

Kisah anak yang menggugat ibu kandungnya ke pengadilan menjadi berita santer di media internet. Bagaimana tidak, anak berencana memenjarakan ibunya seakan begitu adanya dan di Indonesia ini termasuk bisa dimasukkan ke dalam kategori durhaka, apa benar begitu ya. Si ibu sangat sakit hati dan tidak mengakui anak soalnya.

Masya Alloh...
Apapun alasannya jangan sampai kita berbuat demikian terhadap ibu kita. Masih beruntung kalian ibumu masih hidup, sedangkan admin kejawen wetan ini sudah lama tidak memiliki ibu alias sudah meningga dunia.
Jaga baik-baik ibumu selagi ada kesempatan, doanya dikabulkan Tuhan loh...


Berikut ini ada beberapa artikel mengenai anak yang menggugat ibunya yang saya copot dari merdeka.com, dan dream.co.id
Untuk lebih jelasnya silahkan kunjungi situs tersebut ya.


Anak Gugat Ibu Kandung

Di usia senja, dia seharusnya hidup bahagia dengan anak dan cucu-cucunya. Namun, perempuan berusia 90 tahun ini malah menghadapi kasus hukum. Janda delapan anak itu digugat oleh putri kandungnya, Nurhana, dan menantunya, Nurhakim.

Dalam gugatan yang tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang itu, nenek Fatimah diminta membayar gugatan materiil sebesar Rp 1 miliar. Tak hanya itu, dalam gugatan, anak ke empatnya itu juga meminta Hajjah Fatimah diminta angkat kaki dari tempat tinggalnya di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.

Berdasarkan keterangan anak bungsu Fatimah, Amas (37), tanah seluas 397 meter persegi di Kampung Kenanga yang disengketakan itu awalnya milik Nurhakim. Lalu pada tahun 1987, tanah tersebut dibeli oleh almarhum ayahnya, H Abdurahman senilai Rp 10 juta. Dia juga memberikan Rp 1 juta untuk Nurhana sebagai warisan.

"Pembayaran tanah itu disaksikan juga oleh kakak-kakak saya. Sertifikat tanahnya sudah dikasih oleh Nurhakim ke Bapak. Tapi masih atas nama Nurhakim," kata Amas dikutip Dream.co.id dari merdeka.com, Rabu 24 September 2014.

Menurut Amas, sertifikat tanah tersebut hingga kini belum dibalik nama, karena Nurhakim tidak pernah mau untuk melakukan itu. "Dia nggak mau, dengan alasan masih keluarga, masa sama menantu tidak percaya. Atas dasar kepercayaan itu, ibu ngikutin saja. Padahal dia sudah pernah buat surat pernyataan siap balik nama sertifikat, kan aneh," jelas dia.

Namun beberapa tahun kemudian, setelah Abdurahman meninggal, Nurhakim tiba-tiba menggugat tanah tersebut dengan mengaku tidak pernah dibayar oleh bapak mertuanya. Awalnya dia meminta Fatimah dan anak-anaknya untuk membayar Rp 10 juta, lalu naik menjadi Rp 50 juta, Rp 100 juta, hingga Rp 1 miliar. "Keluarga sudah melakukan mediasi, tapi dia tetap meminta keluarga untuk membayar tanah itu. Ya tidak mungkin bisa, jumlahnya mahal sekali," tukas Amas.

Hingga akhirnya Nurhakim memasukkan gugatan ini ke PN Tangerang pada 2013 silam dengan tudingan penggelapan sertifikat dan menempati lahan orang tanpa izin. "Laporannya masuk ke pengadilan perdata, dengan gugatan ganti rugi Rp 1 miliar. Selain ibu, tiga kakak saya juga menjadi tergugat, yakni Rohimah, Marhamah dan Marsamah. jika tidak bisa membayar, ibu akan diusir dari tanah itu. Kita seperti diperas, padahal ibu dan kakak saya sudah tinggal di sana dari tahun 1988," jelas Amas.

Sementara, pengacara Nurhakim, M Singarimbun, mengatakan, kliennya mengaku memberikan sertifikat tanah kepada ayah mertuanya, Abdurahman, karena dijanjikan akan dibeli pada tahun 1987. Namun sampai mertuanya meninggal, Nurhakim mengaku tidak pernah mendapat bayaran atas penjualan tanah itu.

"Nurhakim sempat pindah ke Palangkaraya, Kalimantan, bersama Nurhana. Saat mengetahui mertuanya meninggal, dia pulang ke Tangerang untuk minta supaya tanah itu dibayar. Tapi pihak keluarga menolak karena merasa sudah membayar. Akhirnya dia meminta sertifikat tanahnya dikembalikan, tapi tidak diberikan juga. Karena itu dia layangkan gugatan ke pengadilan," ujar Singarimbun.

Menurut Singarimbun, Nurhakim tidak menggugat sebesar Rp 1 miliar. Hanya ganti rugi sebesar Rp 2 juta per meter luas lahan. Ganti rugi itu berdasarkan hitungan harga tanah saat ini. "Tidak sampai Rp 1 miliar, hanya sekitar Rp 800 jutaan," jelas dia.

Sebenarnya, tambah Singarimbun, masalah tersebut telah diupayakan diselesaikan secara kekeluargaan dengan beberapa kali mediasi. Namun pihak keluarga Fatimah bersikeras tidak mau menyepakati permintaan Nurhakim. "Harapan kami sih ingin diselesaikan baik-baik, tanahnya dibayar atau sertifikatnya dikembalikan saja. Tapi mereka tetap bersikukuh," tukas Singarimbun.

Ibunya Sakit Hati

Gugatan Rp 1 miliar yang diajukan oleh anak kandung dan menantu membuat nenek Fatimah sakit hati. Karena gugatan itu, nenek berusia 90 tahun itu tak lagi mengakui Nurhana sebagai anak kandungnya. Suami Nurhana, Nurhakim, juga sudah tak dianggap lagi sebagai menantu.

"Sakit banget hati saya, hancur banget. Saya sudah dikata-katain susah. Sekarang dia tega menggugat saya Rp 1 miliar, gara-gara tanah. Udah lah, saya udah enggak nganggep dia anak," ujar Fatimah sebagaimana dikutip Dream dari Merdeka, Rabu 24 September 2014.

Fatimah juga kecewa dengan sikap anak keempatnya itu. Sebab, setiap kali datang ke rumahnya, Nurhana selalu meributkan masalah tanah setiap datang ke rumahnya. "Tiap datang ribut tanah, tiap datang ribut tanah, saya sudah usir dia, supaya jangan balik-balik lagi," ujar Fatimah.

Saat dikonfirmasi, saat sidang di Pengadilan Negeri Tangerang Selasa kemarin, Nurhana enggan menjawab. Dia langsung pergi meninggalkan ruang sidang bersama anak-anaknya. "Enggak, enggak usah wawancara, saya enggak mau," ujar Nurhana dengan nada kesal.

Kasus ini bermula dari jual beli tanah seluas 397 meter persegi di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Tanah itu mulanya milik Nurhakim, namun pada 1987 dibeli oleh Abdurrahman, suami Fatimah yang tak lain adalah bapak Nurhana sekaligus mertua Nurhakim.

Kala itu, sesuai keterangan keluarga Fatimah, Abdurrahman sudah membayar Rp 10 juta kepada Nurhakim dan Rp 1 juta sebagai warisan kepada Nurhana. Namun, setelah Abdurrahman meninggal, Nurhakim mengajukan gugatan Rp 1 miliar dengan alasan belum menerima uang pembayaran.



Kronologi

Kisah pahit harus dijalani Hajjah Fatimah. Nenek berusia 90 tahun asal Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, itu harus terbelit masalah hukum. Dia digugat dalam sengketa tanah.

Yang lebih miris lagi, penggugat itu tak lain dan tak bukan adalah anak kandung dan menantunya, Nurhana dan Nurhakim.

Pangkal masalah gugatan itu adalah tanah seluas 397 meter persegi yang terletak di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang. Anak dan menantunya meminta Fatimah membayar Rp 1 miliar atas tanah tersebut. Selain itu, Fatmah harus angkat kaki dari sana.

Kini ibu delapan anak itu harus wara-wiri ke pengadilan karena gugatan itu. Padahal, dalam usia serenta itu, seharusnya bisa menikmati hidup. Berkumpul bersama anak, cucu, bahkan buyut dan kerabat lainya.

Alasan Menggugat

Kisah nenek Fatimah yang digugat anak kandung dan menantunya, Nurhana dan Nurhakim, menjadi sorotan publik. Banyak yang menyayangkan gugatan Rp 1 miliar kepada nenek berusia 90 tahun itu. Apalagi yang melayangkan gugatan sengketa lahan itu bukanlah 'orang lain'.

Ujung pangkal sengketa itu adalah transaksi jual beli lahan seluas 397 meter persegi oleh Nurhakim dan Haji Abdurrahman, mertua sekaligus suami Fatimah. Tanah yang terletak di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, itu mulanya milik Nurhakim. Pada 1987, tanah itu dibeli almarhum Abdurrahman seharga Rp 10 juta.

Namun, Nurhakim mengaku tak mendapat bayaran atas tanah itu sampai Abdurrahman meninggal. "Nurhakim sempat pindah ke Palangkaraya, Kalimantan, bersama Nurhana. Saat mengetahui mertuanya meninggal, dia pulang ke Tangerang untuk minta supaya tanah itu dibayar," kata pengacara Nurhakim dan Nurhana, M Singarimbun, sebagaimana dikutip Dream dari merdeka.com, Kamis 25 September 2014.

Namun, tambah M Singarimbun, Fatimah menolak karena merasa telah membayar tanah itu kepada Nurhakim. "Akhirnya dia (Nurhakim) meminta sertifikat tanahnya dikembalikan, tapi tidak diberikan juga. Karena itu dia layangkan gugatan ke pengadilan," jelas dia.

Sebenarnya, masalah itu telah dibicarakan secara kekeluargaan. Namun beberapa kali mediasi yang dilakukan gagal menemukan kata sepakat. Pihak Fatimah bersikeras tidak mau menyepakati permintaan Nurhakim.

"Harapan kami sih ingin diselesaikan baik-baik, tanahnya dibayar atau sertifikatnya dikembalikan saja. Tapi mereka tetap bersikukuh," tukas M Singarimbun.

Menurut dia, gugatan yang diajukan oleh Nurhana dan Nurhakim tak mencapai Rp 1 miliar seperti yang banyak diberitakan. Kliennya hanya meminta ganti rugi sebesar Rp 2 juta permeter luas lahan. Ganti rugi itu berdasarkan hitungan harga tanah saat ini. "Tidak sampai Rp 1 miliar, hanya sekitar Rp 800 jutaan," jelas M Singarimbun.

Tanah Sudah Dibayar

Sementara, anak bungsu Fatimah, Amas (37), mengatakan almarhum ayahnya telah membayar sebesar Rp 10 juta kepada Nurhakim. Bahkan H Abdurrahman juga memberikan uang Rp 1 juta untuk Nurhana sebagai warisan.

"Pembayaran tanah itu disaksikan juga oleh kakak-kakak saya. Sertifikat tanahnya sudah dikasih oleh Nurhakim ke Bapak. Tapi masih atas nama Nurhakim," kata Amas.

Menurut dia, sertifikat tanah itu hingga kini belum dibalik nama, karena Nurhakim tidak pernah mau untuk melakukan proses itu. "Dia nggak mau, dengan alasan masih keluarga, masa sama menantu tidak percaya. Atas dasar kepercayaan itu, ibu ngikutin saja. Padahal dia sudah pernah buat surat pernyataan siap balik nama sertifikat, kan aneh," jelas dia.

Namun belakangan Nurhakim menggugat tanah itu dengan mengaku tidak pernah dibayar oleh Abdurrahman. Awalnya, kata Amas, Nurhakim meminta Fatimah dan anak-anaknya membayar Rp 10 juta, lalu naik menjadi Rp 50 juta, Rp 100 juta, hingga Rp 1 miliar.

"Keluarga sudah melakukan mediasi, tapi dia tetap meminta keluarga untuk membayar tanah itu. Ya tidak mungkin bisa, jumlahnya mahal sekali," tukas dia.

Hingga akhirnya Nurhakim memasukkan gugatan ini ke PN Tangerang pada 2013 silam dengan tudingan penggelapan sertifikat dan menempati lahan orang tanpa izin.

"Laporannya masuk ke pengadilan perdata, dengan gugatan ganti rugi Rp 1 miliar. Selain ibu, tiga kakak saya juga menjadi tergugat, yakni Rohimah, Marhamah dan Marsamah. jika tidak bisa membayar, ibu akan diusir dari tanah itu. Kita seperti diperas, padahal ibu dan kakak saya sudah tinggal di sana dari tahun 1988," jelas Amas.

sumber: merdeka, dream
editor: kejawen wetan
Tag : Berita
Back To Top