Kelompok militan ISIS mengutip teologi Islam dalam membenarkan penculikannya terhadap perempuan untuk dijadikan budak seks.
ISIS menyatakan hal itu dalam publikasi terbarunya. Namun, pembenaran tersebut merupakan sebuah interpretasi yang ditolak kaum Muslim pada umumnya karena dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Islam.
"Orang harus ingat bahwa memperbudak keluarga orang-orang kafir dan menjadikan perempuan mereka sebagai selir merupakan aspek yang punya dasar tegas dalam hukum syariah atau hukum Islam," kata kelompok teror itu dalam sebuah majalah online yang diterbitkan pada Minggu (12/10/2014).
Judul artikel tersebut meringkas sudut pandang ISIS, yaitu "Bangkitnya perbudakan sebelum hari kiamat," yang merujuk pada Hari Penghakiman.
Edisi keempat dari majalah digital berbahasa Inggris kelompok itu yang disebut "Dabiq" menyatakan, kaum perempuan sekte Yazidi, sebuah kelompok minoritas etnis Kurdi yang sebagian besar tinggal di Irak, dapat secara sah ditangkap dan dipaksa menjadi selir atau budak seksual.
Rasionalisasi tentang kembali ke perbudakan, yang telah ditentang di seluruh dunia, bertepatan dengan terbitnya laporan Human Rights Watch (HRW) tentang kejahatan yang dilakukan ISIS terhadap kaum Yazidi di Irak berdasarkan wawancara dengan 76 orang pengungsi di Dohuk. "Litani kejahatan mengerikan ISIS terhadap warga Yazidi di Irak terus terjadi," kata Fred Abrahams, penasihat khusus di Human Rights Watch. "Kami telah mendengar kisah-kisah mengejutkan tentang pemindahan agama secara paksa, perkawinan paksa, dan bahkan kekerasan seksual dan perbudakan, dan beberapa dari korban adalah anak-anak."
Seorang gadis usia 17 tahun bernama Adlee yang diculik menceritakan bagaimana seorang pria besar berjanggut memaksanya masuk ke sebuah rumah di Falluja. Dia dipukuli dan mengalami kekerasan seksual sebelum akhirnya bisa melarikan diri dua hari kemudian. Demikian laporan Human Rights Watch itu.
ISIS telah memaksa puluhan ribu warga Yazidi meninggalkan rumah mereka pada Agustus lalu saat kaum ekstremis itu menyerbu banyak desa dan kota komunitas itu di Kurdistan Irak. Keluarga-keluarga yang mengungsi dan kelompok pemantau melaporkan kaum militan telah menculik ratusan perempuan dan anak perempuan Yazidi, dan banyak dari mereka dijual atau diberikan kepada kaum militan sebagai "rampasan perang".
Publikasi propaganda setebal 56 halaman dari kelompok teror itu juga melaporkan sebuah "pembantaian terhadap tentara PKK (Kurdi)" beserta foto-foto mengerikan para pria berseragam yang dibunuh. Di halaman berikutnya, ISIS memuji "layanan untuk kaum Muslim" dengan menampilkan sejumlah foto tentang sebuah rumah perawatan bagi orang tua dan pusat perawatan kanker untuk anak-anak.
Terbitan itu, yang berjudul "The Failed Crusade" atau Perang Salib Gagal itu, mencakup sebuah salinan surat terakhir yang diduga dari wartawan Amerika, Steven Sotloff, yang telah dipenggal untuk ibunya. Di situ juga dikatakan bahwa identitas Yahudi Sotloff telah membenarkan pemenggalannya oleh ISIS.
Seorang tawanan ISIS lain, wartawan Inggris bernama John Cantlie, diduga telah menulis bagian terakhir dari majalah tersebut. Dia mengatakan, dirinya menduga akan segera dibunuh, "kecuali sesuatu berubah sangat cepat dan sangat radikal, saya sedang menunggu giliran saya."
sumber: kompas.com
ISIS menyatakan hal itu dalam publikasi terbarunya. Namun, pembenaran tersebut merupakan sebuah interpretasi yang ditolak kaum Muslim pada umumnya karena dianggap sebagai penyimpangan dari ajaran Islam.
"Orang harus ingat bahwa memperbudak keluarga orang-orang kafir dan menjadikan perempuan mereka sebagai selir merupakan aspek yang punya dasar tegas dalam hukum syariah atau hukum Islam," kata kelompok teror itu dalam sebuah majalah online yang diterbitkan pada Minggu (12/10/2014).
Judul artikel tersebut meringkas sudut pandang ISIS, yaitu "Bangkitnya perbudakan sebelum hari kiamat," yang merujuk pada Hari Penghakiman.
Edisi keempat dari majalah digital berbahasa Inggris kelompok itu yang disebut "Dabiq" menyatakan, kaum perempuan sekte Yazidi, sebuah kelompok minoritas etnis Kurdi yang sebagian besar tinggal di Irak, dapat secara sah ditangkap dan dipaksa menjadi selir atau budak seksual.
Rasionalisasi tentang kembali ke perbudakan, yang telah ditentang di seluruh dunia, bertepatan dengan terbitnya laporan Human Rights Watch (HRW) tentang kejahatan yang dilakukan ISIS terhadap kaum Yazidi di Irak berdasarkan wawancara dengan 76 orang pengungsi di Dohuk. "Litani kejahatan mengerikan ISIS terhadap warga Yazidi di Irak terus terjadi," kata Fred Abrahams, penasihat khusus di Human Rights Watch. "Kami telah mendengar kisah-kisah mengejutkan tentang pemindahan agama secara paksa, perkawinan paksa, dan bahkan kekerasan seksual dan perbudakan, dan beberapa dari korban adalah anak-anak."
Seorang gadis usia 17 tahun bernama Adlee yang diculik menceritakan bagaimana seorang pria besar berjanggut memaksanya masuk ke sebuah rumah di Falluja. Dia dipukuli dan mengalami kekerasan seksual sebelum akhirnya bisa melarikan diri dua hari kemudian. Demikian laporan Human Rights Watch itu.
ISIS telah memaksa puluhan ribu warga Yazidi meninggalkan rumah mereka pada Agustus lalu saat kaum ekstremis itu menyerbu banyak desa dan kota komunitas itu di Kurdistan Irak. Keluarga-keluarga yang mengungsi dan kelompok pemantau melaporkan kaum militan telah menculik ratusan perempuan dan anak perempuan Yazidi, dan banyak dari mereka dijual atau diberikan kepada kaum militan sebagai "rampasan perang".
Publikasi propaganda setebal 56 halaman dari kelompok teror itu juga melaporkan sebuah "pembantaian terhadap tentara PKK (Kurdi)" beserta foto-foto mengerikan para pria berseragam yang dibunuh. Di halaman berikutnya, ISIS memuji "layanan untuk kaum Muslim" dengan menampilkan sejumlah foto tentang sebuah rumah perawatan bagi orang tua dan pusat perawatan kanker untuk anak-anak.
Terbitan itu, yang berjudul "The Failed Crusade" atau Perang Salib Gagal itu, mencakup sebuah salinan surat terakhir yang diduga dari wartawan Amerika, Steven Sotloff, yang telah dipenggal untuk ibunya. Di situ juga dikatakan bahwa identitas Yahudi Sotloff telah membenarkan pemenggalannya oleh ISIS.
Seorang tawanan ISIS lain, wartawan Inggris bernama John Cantlie, diduga telah menulis bagian terakhir dari majalah tersebut. Dia mengatakan, dirinya menduga akan segera dibunuh, "kecuali sesuatu berubah sangat cepat dan sangat radikal, saya sedang menunggu giliran saya."
sumber: kompas.com
Tag :
Berita