JAKARTA, 17 Oktober 1952. Dua buah tank, empat kendaraan berlapis baja dan ribuan orang menyerbu memasuki pintu gerbang Istana Merdeka. Mereka mau coba-coba menguji nyali Bung Karno.
Barisan Massa membawa spanduk bertuliskan; Bubarkan Parlemen!. Satu batalyon artileri dengan empat buah meriam menderu-deru memasuki halaman istana.
"Meriam-meriam 25 poin bikinan Inggris digerakkan dan dihadapkan kepadaku," Bung Karno membuka kisah, sebagaimana dicuplik dari Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams.
Menurut Bung Karno, tindakan ini tidak dapat dikatakan bijaksana, karena para panglima yang memimpin gerakan itu berada dalam Istana bersamanya.
"Ini tidak ditujukan kepada Bung Karno pribadi," ujar Kolonel Abdul Haris Nasution, si pemimpin aksi Setengah Kup tersebut. "Melainkan untuk menentang sistem pemerintahan. Bung Karno harus segera membubarkan parlemen."
Demi mendengar itu, mata Presiden Soekarno memerah. Sang proklamator marah.
"Engkau benar dalam tuntutanmu, tetapi salah di dalam caranya. Soekarno tidak akan menyerah menghadapi paksaan. Tidak pernah kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia!"
Nasution menyahut. "Bila ada kekacauan di negara kita, setiap orang berpaling kepada tentara. Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tetapi si prajurit yang harus mati."
Maka bagi Nasution, wajar jika dirinya dan serombongan orang yang dipimpinnya turut bicara tentang apa yang sedang berlangsung di negeri ini.
Bung Karno balik menggertak. "Mengemukakan apa yang terasa di hatimu kepada Bung Karno, ya. Tetapi mengancam Bapak Republik Indonesia, tidak! Jangan sekali-kali!"
Adegan berbalas pantun di atas dikisahkan langsung oleh Bung Karno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, yang ditulis Cindy Adams.
Memaafkan Nasution
Sejurus kemudian, Bung Karno meninggalkan Nasution. Dia melenggang menyambangi massa di luar Istana.
"Alih-alih gemetar ketakutan di bawah kekuasaan meriam-meriam lapangan, aku menatap langsung ke mulut-mulut senjata itu, dan tanpa rasa takut kulampiaskan kemarahanku pada mereka yang mencoba membunuh demokrasi dengan pasukan bersenjata," tandas Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.
Seorang prajurit tampak terengah-engah. Kepada kawan-kawannya dia berkata, "Tindakan kita ini salah. Bapak presiden tidak menyetujuinya."
Yang lain tampak setuju. Ada yang bersorak, "Bila bapak presiden tidak menyetujui cara ini, kita pun tidak setuju!"
Barisan itu pun membubarkan diri seraya bersorak-sorai. "Hidup Bung Karno!", "Hidup Bung Karno!".
Akibat perangainya, jabatan Nasution sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan dicopot, tapi tak lama dikembalikan lagi oleh Bung Karno. Pemimpin bangsa tak memupuk dendam.
Terkait ini Bung Karno menyatakan, "Soekarno bukanlah anak kecil dan Nasution pun bukan anak kecil. Kita akan tetap bersatu, karena jika musuh-musuh berhasil memecah-belah kita, maka republik kita pasti hancur."
Begitulah senarai kisah riuh-rendah di Istana Negara, 17 Oktober 1952. Persis enam puluh enam tahun silam.
sumber:
jawapos
surya
jpnn
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
Barisan Massa membawa spanduk bertuliskan; Bubarkan Parlemen!. Satu batalyon artileri dengan empat buah meriam menderu-deru memasuki halaman istana.
"Meriam-meriam 25 poin bikinan Inggris digerakkan dan dihadapkan kepadaku," Bung Karno membuka kisah, sebagaimana dicuplik dari Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams.
Menurut Bung Karno, tindakan ini tidak dapat dikatakan bijaksana, karena para panglima yang memimpin gerakan itu berada dalam Istana bersamanya.
"Ini tidak ditujukan kepada Bung Karno pribadi," ujar Kolonel Abdul Haris Nasution, si pemimpin aksi Setengah Kup tersebut. "Melainkan untuk menentang sistem pemerintahan. Bung Karno harus segera membubarkan parlemen."
Demi mendengar itu, mata Presiden Soekarno memerah. Sang proklamator marah.
"Engkau benar dalam tuntutanmu, tetapi salah di dalam caranya. Soekarno tidak akan menyerah menghadapi paksaan. Tidak pernah kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia!"
Nasution menyahut. "Bila ada kekacauan di negara kita, setiap orang berpaling kepada tentara. Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tetapi si prajurit yang harus mati."
Maka bagi Nasution, wajar jika dirinya dan serombongan orang yang dipimpinnya turut bicara tentang apa yang sedang berlangsung di negeri ini.
Bung Karno balik menggertak. "Mengemukakan apa yang terasa di hatimu kepada Bung Karno, ya. Tetapi mengancam Bapak Republik Indonesia, tidak! Jangan sekali-kali!"
Adegan berbalas pantun di atas dikisahkan langsung oleh Bung Karno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, yang ditulis Cindy Adams.
Memaafkan Nasution
Sejurus kemudian, Bung Karno meninggalkan Nasution. Dia melenggang menyambangi massa di luar Istana.
"Alih-alih gemetar ketakutan di bawah kekuasaan meriam-meriam lapangan, aku menatap langsung ke mulut-mulut senjata itu, dan tanpa rasa takut kulampiaskan kemarahanku pada mereka yang mencoba membunuh demokrasi dengan pasukan bersenjata," tandas Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.
Seorang prajurit tampak terengah-engah. Kepada kawan-kawannya dia berkata, "Tindakan kita ini salah. Bapak presiden tidak menyetujuinya."
Yang lain tampak setuju. Ada yang bersorak, "Bila bapak presiden tidak menyetujui cara ini, kita pun tidak setuju!"
Barisan itu pun membubarkan diri seraya bersorak-sorai. "Hidup Bung Karno!", "Hidup Bung Karno!".
Akibat perangainya, jabatan Nasution sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan dicopot, tapi tak lama dikembalikan lagi oleh Bung Karno. Pemimpin bangsa tak memupuk dendam.
Terkait ini Bung Karno menyatakan, "Soekarno bukanlah anak kecil dan Nasution pun bukan anak kecil. Kita akan tetap bersatu, karena jika musuh-musuh berhasil memecah-belah kita, maka republik kita pasti hancur."
Begitulah senarai kisah riuh-rendah di Istana Negara, 17 Oktober 1952. Persis enam puluh enam tahun silam.
sumber:
jawapos
surya
jpnn
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
Tag :
Berita