Ayo nglestarekno Budoyo Jowo ben ora ilang Soko Bumi Nusantoro

Astaghfirulloh Kepalanya Terbelah karena Penyakit

Wahyu, merupakan bungsu dari empat bersaudara. Dia lahir dari pasangan Solyadi (41) dan Tursina Dewi (41).

Wahyu lahir 17 Februari 2003. Namun sejak usia 2,5 bulan, gejala hydrocephalus sudah terlihat di ubun-ubunnya. Penyakit itu pula yang mengungkung pertumbuhannya hingga sekarang.

"Awalnya demam panas tinggi selama seminggu. Lalu dekat pusaran kepala keluar bintik merah membentuk lingkaran, semenjak itu membesar kepalanya," ungkap Tursina Dewi, sembari mengganti baju yang dikenakan Wahyu saat ditemui JPNN di rumahnya akhir pekan lalu, 25 Mei 2014.

Hydrocephalus yang diderita Wahyu terus berlanjut. Pertama keningnya menonjol. Setelah penuh, batok kepalanya perlahan membelah ke samping. Sementara di bagian ubun-ubun hanya dilapisi kulit kepala. Tubuhnya, kaki, tangan, juga hampir tak ada daging.

Sejak gejala penyakit itu terdeteksi, keluarga sudah diingatkan untuk segera melakukan operasi. Namun karena terbentur faktor ekonomi, usaha pertama untuk mencegah pembesaran di kepala Wahyu dilewatkan begitu saja.

Baru pada tahun 2005, ketika Wahyu menginjak usia 3 tahun operasi pertama dilakukan. Operasi pertama itu pun tidak mudah. Sebab, Wahyu pernah ditolak salah satu rumah sakit pemerintah di Kota Padang lantaran kartu sehatnya saat itu belum berlaku.

"2005 dibawa lagi, usia 3 tahun, baru kartunya berlaku dan operasi pertama. Biaya dari pemerintah, Bupati ngasih bantuan. Biaya RS pakai Askes," ujar Tursina Dewi.

Saat operasi pertama, di bagian leher Wahyu ditanam selang untuk membuang cairan dari kepala yang bisa bertahan hingga 6 tahun. Menurut tim dokter yang menanganinya, operasi setidaknya dilakukan 3 kali, yang kedua seharusnya April 2014 lalu.

Tapi karena pertumbuhan berat badan lambat, hanya 11 kg, operasi terpaksa ditunda sampai berat badannya mencukupi.

Keluarga Solyadi tinggal di sebuah rumah sederhana di Simpang Batuhampar Manggopoh (Batham), Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Di rumah itu, selain perabotan sederhana juga terdapat sebuah mesin jahit konvensional. Oleh Tursina Dewi, mesin itu digunakannya untuk menyelesaikan pesanan jahitan baju dari warga di kampungnya. Pekerjaan itu dia lakukan untuk membantu ekonomi keluarga. Sedangkan suaminya, sehari-hari bekerja serabutan.

Ditanya biaya operasi kedua Wahyu nanti, Tursina Dewi sejenak terdiam. "Belum tahu, biasanya buat proposal dulu ke pemerintah, dinas sosial. Kalau dapat dana baru berangkat," jawabnya datar.

Dirinya berharap anaknya bisa pulih. Apalagi dia mendapat informasi dari dokter syaraf di RS M Jamil Padang yang pernah menangani anaknya, bahwa di Jakarta ada rumah sakit yang bisa melakukan pembentukan batok kepala. Namun, bayangan biaya besar yang harus dikeluarkan, membuat dia pesimis.

Saat ini, keluarga Wahyu terus berupaya memenuhi kebutuhan gizi dengan memberikan vitamin penambah tinggi dan berat badan yang diberikan dokter dengan harapan operasi kedua bisa dilakukan untuk penyembuhan Wahyu.

Hal senada juga disampaikan Solyadi, bapak Wahyu agar anaknya diberikan kesempatan untuk tumbuh layaknya anak-anak kebanyakan. Dia juga berharap agar pemerintah bisa memberikan jaminan kesehatan kepada anaknya secara penuh. Sebab, selama ini mereka kesulitan memenuhi kebutuhan obat-obatan di luar DPHO (Daftar Perincian Harga Obat).

"Harapannya ada jaminan penuh dari pemerintah untuk pengobatan Wahyu. Selama ini biaya obat di luar DPHO beli sendiri, tidak dibiayai Jamkesmas. Kadang-kadang harus di bawa ke rumah sakit mendadak," harap Solyadi.

sumber:
jpnn.com
Tag : Berita
Back To Top